Selasa, 18 November 2008

HOW DOES FINANCE CRISIS COME?

Finance global crisis that occurs in America have affected a deep economic collapsion in the USA economion. Financial crisis that have been begun from subprime mortgage crisis melted several big financial institutions. Finance giants as Lehman Brothers fall, American International Group (AIG), Merrill Lynch, Morgan Stanley Goldman Sach are in the same. USA governance is forced to take over those institutions. The investors begin to decrease their trusteedhip, that make stocks prices of main stock market in the wold declined, include Indonesia.

After the collaps of financial institutions, swallowing rival institutions glower and glower. Hostile taking over became a proper scene in the market rule. Finance institution could be fooled with speculator. Market become wilder and mob.

There are many analysis in the finance market meltingdown, started from USA deficit policy, low rate of interest policy in the Greenspan era, politicus greed, speculation of market enlarger, a very high cost of oversea politic, manipulation of financial statements and so on. Almost of those analysis doesn’t reach the main cause deeply, so whatever the prescription and strategy recoveries are given will not be powerful indeed. The crisis disaster will back and continuesly repeated.

Kapitalism economic system that sensitive to any crisis, doesn’t prohibited maghrib practice instead Islam does. Maghrib is an acronym of maysir, gharar and riba. This three forbidden practices are the main causes of crisis. Maysir is business practice in the form of gamble and speculation. Speculation always occurs in the stock market shaped as short selling and margin trading. Whether gharar is a unreal transactions, derivative and so that it is a high risk business. And the riba is seeking for profits based on real bisnis transaction. The aim of investor is not really to invest their share but only to reach gain trough margin trading practice. More than that it has to recognized that in the financial market, margin trading is decided according to interest instrument.

In the finance market speculative transaction of foreign orientation often happen. All of those transactions are prohibited by shara’ because it obtain riba. In the other hand economi in Islam is the way to attempt to balance between real sector and monetary sector ( in another word economy 1 on 1). It has mean an economy system that make a relevancy between monetary sector and real sector. Explicitly, one monetery unit for one real asset. in order to that framework islam teaches a real business practice though purchase and sale.

The heart of capitalism economic system is riba (interest, gambling, and speculation). Riba is the main cause of any finance crisis. Speculative activity shaped margin trading and short selling in the stock market is riba, because it is based on un real underlying transaction. Speculation activity on monetary just for speculation itself, not for any real transaction is a ribawy activity. Whether being on the alert is not recommended. One stop solution is back to how islam teach us in business, because islam didn’t come to only muslim, it came to manage entire the world live.

Kamis, 06 November 2008

ironi globalisasi



Globalisasi adalah perspektif bagi tatanan dunia masa hadapan, setidaknya buat para ekonom kapitalis dan mereka yang meyakininya. Neo-liberalisme merupakan trend setter ekonomi-politik yang kini banyak digandrungi oleh negara-negara modern, nyaris diseluruh muka bumi. Serangkaian pertemuan, seminar-seminar, dan forum-forum kaliber dunia digelar untuk terus “memelihara solidaritas global”. World Economics Forum (WEF), misalnya, menghimpun para ekonom dunia, lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, akademisi, media, dan organisasi sipil lainnya; untuk merumuskan bagaimana hegemoni kapitalisme dilestarikan. Sebagai organ Globalisasi, WEF bersama dengan World Bank, International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO), G-8, TNCs dan MNCs, plus Paris Club, London Club, CGI, dan lainnya memang dirancang untuk melicinkan jalan bagi ekspansi ekonomi neo-liberalisme-kapitalisme.

Bagi mayoritas orang di negara-negara “the third world”, gegap gempita globalisasi berbanding terbalik dengan realitas sosio-ekonomis yang mereka alami. Kemiskinan, rendahnya daya beli dan nilai tukar petani-buruh, buruknya sanitasi dan gizi anak, ketidakmampuan memperbaiki kualitas pendidikan, berbanding terbalik dengan superioritas ekonomi pasar. Pendeknya alih-alih menyediakan jalan baru untuk mengangkat kesejahteraan, globalisasi justru menjadi sumber epidemi baru yang membuat kaum miskin (proletar, marhaenis, mustdha'afin, the urban poor) tidak pernah dapat keluar dari kemiskinan absolut, selain akibat penindasan struktural oleh rezim-rezim post-kolonialis. Wajah janus globalisasi yang menampakkan superioritas di satu sisi, dan kerawanan (fragility) di lain sisi adalah sebuah paradoks yang tak terbantahkan; kenyataan kerawanan globalisasi yang modus dan kasusnya jauh lebih banyak tinimbang dampak positifnya membuat ia lebih sebagai kekuatan hegemonik-destruktif, dari pada sebagai Fortuna, dewi penolong dalam epos-epos Yunani Kuno.

Contoh kasus objektif: kenyataan sosio-ekonomi-politik kontemporer Republik Indonesia Serikat, semakin menguatkan kita bahwa kehadiran “globalisasi”; via AFTA, penandatanganan LoI dengan IMF, dan dominasi CGI lebih merupakan tragedi bagi Indonesia. Sejak pemerintah Indonesia “membungkuk” di hadapan IMF pada medio 1997 hingga naiknya Susilo Bambang Yudiyono (SBY) ke kursi presiden, kehidupan perekonomian Indonesia tidak kunjung membaik; frustasi sosial semakin massal. Ketika terjadi antagonisme, tidak satupun para ekonom yang berusaha jujur akan sumber frustasi itu. Tidak banyak orang pintar yang dapat menjelaskan bahwa, frustasi massal itu bersumber dari penderitaaan yang dirasakan oleh rakyat di negara-negara korban globalisasi. Betapa tidak, jika dua tahun belakangan ini, terjadi pemecatan buruh secara massal atas nama efisiensi, pengurangan upah buruh dengan alasan membengkaknya biaya produksi, pemotongan subsidi pendidikan dan kesehatan, hingga kenaikan tarif dan harga-harga konsumsi publik secara sporadis, sepihak dan beruntun atas nama penutupan defisit anggaran, serta berbagai kebijakan kriminal (crime policy) dan tidak berpihak kepada rakyat.

Brent Blackwelder, Presiden Friends of The World dalam sebuah aksi anti-globalisasi di Seattle (november 1999), mengatakan bahwa “globalisasi adalah menghancurkan pekerjaan baik di suatu tempat dan membangun kondisi patetik di tempat lain”. Mungkin benar globalisasi menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi juga menciptakan kesengsaraan pada jutaan orang. Untuk memperluas pasar dan menekan biaya produksi, perusahaan-perusahaan multinasional –dengan ideologi neo-liberalnya memindahkan pabrik-pabrik dari negara-negara maju ke negara-negara kurang maju dan terbelakang; yang tenaga kerjanya ekplosif sementara lapangan pekerjaannya terbatas. Dengan sasaran negara-negara semacam itu, upah buruh dapat ditekan menjadi lebih murah, standar-standar kerja dan kesejahteraan pekerja rendah dan dapat dipermainkan dengan menyuap para birokrat lokal yang korup; Nike, McDonald, dan Coca Cola; hanya beberapa contohnya.

Sementara perusahaan-perusahaan eksplorasi bahan tambang transnasional dengan dukungan salah satu unsur tripel-aliansinya (baca: pemerintah lokal atau negara komprador) dengan sangat leluasa mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan alam tanpa menghitung kerugian sosial atau lingkungan; di Republik Indonesia, Freeport adalah salah satu contoh dari “the vampire-coorperates” di dunia. Dalam konteks implikasi yang serupa, sudah bukan rahasia lagi, jika rendahnya nilai tukar petani-petani kita, juga diakibatkan oleh harga dasar gabah yang lebih ditentukan oleh pasar, bukan oleh penanam padi. Alih-alih menyebut nasib buruh petani, para petani pemilik tanah pun tidak akan sanggup bersaing dengan produk-produk pertanian dari Amerika Utara dan Eropa yang disubsidi secara besar-besaran; sangat kontradiktif dengan realitas petani kita. Pekerja-pekerja transportasi harus mengencangkan ikat pinggang dan menghitung ulang keperluan-keperluan primer keluarganya dalam keterbatasan pendapatan, karena “penyesuaian” harga bahan bakar minyak lokal dengan harga minyak di pasar dunia; sebuah prasyarat-parasit untuk bisa disebut sebagai warga global [?]. Meski argumen “harga pasar dunia” tidak diikuti usaha serius pemerintah untuk menyesuaikan pendapatan rakyat dengan “pendapatan masyarakat dunia”. Pemerintah-pemerintah komprador yang lemah seperti rezim SBY dituntut untuk melepaskan saham-sahamnya diperusahaan nasional-strategis untuk dijual kepada kekuatan swasta dan asing; dalam konteks inilah divestasi saham pemerintah di Pertamina dan PLN terjadi.

Bagaimana bisa para pengagum globalisasi menyebut kompetisi dan keunggulan komparatif, jika negara-negara kapitalis melakukan proteksi terhadap kekuatan ekonomi lokalnya sampai mereka cukup siap bersaing dengan kekuatan ekonomi asing, sementara kekuatan-kekuatan ekonomi di negara berkembang tidak sempat, dibiarkan, bahkan sengaja dibuat untuk tidak berdaya, dan dihancurkan dengan sistematis. Dapatkah kita menyatakannya sebagai kompetisi yang fair, ketika katapel harus berhadapan dengan senapan otomatis, dan tidak memiliki pilihan lain kecuali: KALAH!!! Bergantung pada utang luar negeri adalah konsekuensi berikutnya yang juga tidak bisa dihindari.

Prognosis di atas, kiranya dapat memberikan ilustrasi tentang bagaimana pemerintah Indonesia akhirnya terjebak dalam ketergantungan yang akut kepada lembaga-lembaga donor dunia. Terlampau banyak fakta yang dapat diungkap tentang; betapa pilihan mengintegrasikan diri dalam sistem kapitalisme dan neo-liberalisme adalah sesuatu yang sangat menyakitkan dan mutlak untuk dihentikan; bukan saja karena pilihan itu membawa defisit sosio-politik, tapi juga telah membuat Indonesia menjadi negeri hibrid yang penuh ambivalensi! Dalam ambivalensi itu, setiap kita akan sulit membedakan antara penyakit dan penderitanya. Antara korban dan bencana. Racun dan darah telah menyatu dan senyawa itu telah menjadi racun yang baru. Jangan-jangan itulah yang terjadi dengan kolusi, korupsi serta nepotisme yang telah lama melanda negeri ini. Erich Fromm menyebut kondisi yang seperti ini sebagai the pathology of normalcy, penyakit yang tidak lagi disadari sebagai penyakit karena sudah menjadi bagian yang wajar. Sehingga berapa pun banyak korupsi dilakukan, tidak akan pernah seorang pun dinyatakan sebagai koruptor sebab lembaga pengadilan tidak pernah lagi bisa menjatuhkan vonisnya. Indonesia saat jauh lebih buruk dari Turki di awal abad ke 20, yang disebut sebagai the sick man of Europe. Indonesia tidak hanya sekedar the sick man of Asia, tapi bisa jadi adalah penyakit itu sendiri, wabah, bangkai dan sampah itu sendiri. Adalah sangat bijak dan jauh lebih baik jika kita memberdayakan potensi-potensi kekuatan rakyat untuk menjadi focus yang dapat membawa kita keluar dari krisis; dengan dengan kemampuan dan bakat (vermogen en aanleg), serta dengan tenaga dan kekuatan sendiri (eigen kracth en eigen kunnen).

Ibarat para rentenir, lembaga-lembaga donor (dan pilar globalisasi) yang selama ini “menyantuni” Indonesia, sesungguhnya tidak pernah rela memberikan pinjaman tanpa pamrih dan pretensi. Dengan jurus-jurus “pengkerean”-nya, lembaga-lembaga donor telah berprestasi dengan sangat spektakulerdalam meningkatkan jumlah pengangguran di negara-negara berkembang. Dalam kondisi yang seperti ini masihkah tatanan global merasa perlu mengklaim diri sebagai “ruang hampa” yang memberikan equality dan similarity bagi semua orang untuk hidup dan menikmati haknya sebagai masyarakat dunia, zonder a wareness dan concernity yang serius pada keadilan dan kemanusiaan? Dengan begitu, dapatkah pula kita mengatakan bahwa masa-masa dimana globalisasi menikmati golden age-nya, sebagai masa-masa damai penuh kesejahteraan? Itulah sebabnya kita harus menggelar Nuremberg yang kedua untuk mereka, karena globalisasi include neo-liberalisme-kapitalisme telah membunuh banyak orang justru sebelum datang waktu kematiannya.

Kemungkinan bagi Dunia yang Lain
Jika demikian, globalisasi pulalah yang telah mendorong terciptanya “solidaritas global” dalam versi yang lain. Suatu solidaritas global yang justru merajut kelompok-kelompok anti-globalisasi; karena rasa lapar yang massal, kehausan akan keadilan, dan hilangnya pengakuan terhadap mereka sebagai manusia, yang tinggal dalam ruang-ruang periferal dunia global. Akhirnya kita harus berpikir keras dan cepat (at the speed of though) untuk menyajikan alternatif tatanan dunia lain yang mungkin. Setiap penindasan harus dilawan, dan setiap sistem yang bobrok harus diganti.

World Sosial Forum (WSF), misalnya merupakan forum yang tidak hanya sekadar kompetitor bagi WEF, tetapi ia juga merupakan pertemuan warga dunia, yang mendiskusikan secara serius pilihan-pilihan selain neo-liberalisme, serta merancang strategi alternatif yang jitu untuk menghadapi globalisasi. Slogan yang diangkat dalam WSF adalah “Another World is Possible”, dan selalu digelar bersamaan dengan pelaksanaan WEF. Aksi-aksi anti-globalisasi senantiasa marak diseluruh penjuru dunia, dan selalu memakan korban. Di Indonesia misalnya, setelah didahului oleh demonstrasi-demonstrasi menolak kenaikan harga dan tarif, aksi menentang Globalisasi dan penundaan pemutusan hubungan dengan IMF berakhir bentrok, belasan aktivis ditangkap polisi.

Sebagai sebuah pertemuan anti-global, WSF berhasil mengkampanyekan dan mendorong perlawanan terhadap globalisasi. Tetapi kendala kultural yang bakal menghadang bukannya tidak disadari para aktivis “the another world”. Joseph Stiglizt, penerima Penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2001, mengatakan bahwa masih sangat banyak penguasa negara-negara terutama post kolonialis masih terperangkap dalam colonialized mind; mental jajahan, yang senantiasa menganggap bahwa resep-resep kesejahteraan, perbaikan ekonomi dan “pembangunan” dari negara-negara besar yang menguasai lembaga-lembaga ekonomi internasional, sebagai sesuatu yang paling sempurna. Sebaliknya semua orang tahu bahwa negara-negara kreditor juga tidak pernah lepas dari mental penjajah, sebagai apa yang disebut “white man burden”, dan menganggap merekalah yang paling tahu apa yang terbaik untuk negara-negara terbelakang.

Kalau begitu prasyarat apakah yang harus ada dan dimiliki oleh warga dunia untuk lepas dari determinisme-hegemonik neo-liberalisme-kapitalisme? Untuk melakukan deduksi-empiris guna menemukan alasan-alasan praksis bagi aksi melawan globalisasi memang tidak, mudah. Tapi setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh warga anti-globalisasi di negara-negara berkembang. Pertama, warga anti-globalisasi dan rakyat korban globalisasi dinegara-negara berkembang harus mendorong terciptanya kepemimpinan politik (political leadership) yang kohesif, dan menumbangkan pemerintahan-pemerintahan korup yang senantiasa terjebak konflik. Harus disadari bahwa, salah satu akar intervensi global lewat tentakel-tentakelnya, adalah karena pada mayoritas negara-negara berkembang tidak memiliki kepemimpinan politik (political leadership) yang kohesif. Selain tidak kohesif, penguasa-penguasa di negara-negara berkembang cenderung korup dengan administrasi publik yang boros. Proses-proses politik yang cenderung sporadis dan usaha pelembagaan proses-proses politik itu secara permanen yang berjalan lambat, acap membuat lembaga-lembaga demokrasi tidak dapat menyelesaikan permasalahan politik secara efektif. Dalam kondisi yang seperti ini, intervensi kekuatan global hanyalah permasalah waktu, dan segera menemukan alasannya ketika pemerintahan lokal mengalami permasalahan finansial yang akut, atau karena kehilangan kesabaran untuk menemukan cara lain yang lebih aman, tanpa mengundang negara-negara kreditor. Kohesifitas kepemimpinan politik menjadi penting, karena ia akan membuat politik menjadi enerjetik dan percaya diri.

Kedua, fundamental ideologi politik yang jelas, atau adanya kesepakatan untuk mematuhi suatu dasar nilai mutlak (basical absolute values) atau fixed idea bagi sistem politiknya. Adalah fakta tak terbantahkan, jika premis-premis pluralisme yang asumtif, yang dijadikan dasar ideologi politik di banyak negara, menjadi salah satu penyebab lambatnya pemerintah-pemerintah lokal mengarahkan energi sosial warganya. Fundamental ideologi yang jelas bagi pemerintahn lokal, akan memberikan panduan bagi semua sistem yang berlaku ekonomi, politik, sosial, hukum, strategi pertahanan, budaya, etc.berjalan kearah yang sama dan sebangun. Kejelasan fundamental ideologi, tentu harus dibedakan eksesnya dengan negara yang sentralistik. Permasalahan fundamen ideologi berkaitan dengan prinsip-prinsip utama (summum bonum) yang menjadi landasan proses-proses politik. Hal ini terutama terkait dengan pilihan bagaimana membuat efektif sistem ekonomi-moneter dan menghindari utang, equalitas dalam hubungan pemerinatah pusat dan bagian, cara menyelesaikan konflik politik, penghargaaan atas hak-hak asasi kemanusiaan, orientasi pemanusiaan yang utuh dam kurikulum pendidikan, pemberdayaan potensi-potensi sipil, dan berbagai hal yang lain. Sementara permasalahan sentralistik juga otoriterianisme, fasisme, atau oligarkis adalah permasalah pilihan teknis-politis, bagaimana sebuah otoritas politik membuat warganya terlibat dalam proses-proses politiknya. Jika pilihannya adalah “ketaatan” (dan harus diperoleh dalam waktu singkat), sangat mungkin suatu otoritas politik lokal menjadi sentralistik dan memerintah dengan tangan besi. Sebaliknya jika opsinya adalah “kesadaran” politik yang tersublimasi secara massif, potensi menjadi pemerintahan yang egaliter sangatlah terbuka, karena setiap individu diberikan kebeasan untu melakukan sesuatu atas dasar pilihan rasional, hak-hak dan kewajibannya sebagai warga, dan secara bertahap berpartisipasi dalam politik. Sumber-sumber dasar ideologi itu bisa diambil dari beragam filsafat politik, nilai-nilai agung yang disepakati, atau juga agama, misalnya Islam.

Ketiga, keberanian (baca: revolusi) budaya. Otoritas politik yang kohesif, yang berdiri di atas fundamental ideologi yang kuat, sangat mungkin akan tertatih-tatih dan akhirnya kelelahan, jika tidak ada kehendak warga untuk berubah secara kolektif. Perubahan revolusioner secara kolektif membutuhkan keberanian budaya; revolusi budaya. Rezim-rezim politik yang kuat dan “cerdas” bersama ideologi-ideologinya, bisa saja bersilih ganti, jatuh dan bangun, tapi ketika massa rakyat tidak memiliki keberanian budaya untuk melakukan revolusi watak, maka kemandirian hanyalah mimpi, dan melawan globalisasi hanyalah “virtual action”. Para pemimpin politik boleh berkoar-koar oleh seruan verbalistik yang retoris dan memukau, menyedot perhatian rakyat. Tapi itu hanya perubahan sesaat, jika ternyata mayoritas orang lebih gandrung pada ayam goreng McD, sepatu produk Nike, celana jins buatan Lea, dan mobil-mobil mewah buatan asing, dibanding ayam goreng Cak Warto, sepatu Cibaduyut, atau celana dan mobil buatan lokal. Revolusi budaya merupakan bahan bakar yang baik bagi setiap otoritas politik bersama ideologinya melawan hegemoni kapitalisme dan para kompradornya.

Sepertinya triumvirat prasyarat kondisi di atas leadership politik yang kohesif, fundamental ideologi yang jelas, dan keberanian budaya yang tampaknya menjadi permasalahan paling kardinal di negara-negara berkembang. Tanpa ketiganya atau ketiadaan salah satunya hanyalah awal ketidakberdayaan, dan itu berarti potensi amat besar bagi intervensi eskternal (baca: globalisasi). Jika negara X memilih sosialisme-demokrat, sementara negara Z memilih Islam; dan masing-masing mereka menemukan alasan politik yang radikal bagi pemenuhan kebutuhan dengan cara sendiri, lalu memanusiakan manusia dengan cara-cara yang manusiawi, mengapa kita harus takut mengikutinya? Tiga hal di atas tampaknya juga harus mendapat perhatian dari warga dan aktivis anti-globalisasi, selain kampanye dan internalisasi bagi Another World is Posiible; untuk merebut kebebasan dan meraih kehidupan. Insya Alloh.


Neo-Liberalisme: Ensiklopedi Britannica 2001 deluxe edition CD-ROM, menjelaskan bahwa kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya. Makna senada juga terdapat dalam Wikipedia.

sumber; http://jaringankomunikasi.blogspot.com/


Minggu, 02 November 2008

krisis ekonomi

lumayan pusing kalau kita ngomongin masalah yang satu ini. tapi kira-kira penjelasan berikut akan sedikit memaparkan sebab dan musabab krisis ekonomi negeri sebelah tapi agak jauh
Awal mulanya krisis ekonomi Amerika (yang akhirnya menjadi krisis global), berawal dari investasi yang dilakukan institusi2 keuangan Amerika dalam subprime motgage.

Apa itu subprime mortgage? Singkatnya dapat dijelaskan seperti ini :
ketika bank2 menyalurkan kredit perumahan, bank kemudian "menjual piutang2 nasabah" kepada institusi keuangan dalam bentuk surat hutang yang bisa diperjualbelikan. Surat hutang inilah yang disebut sebagai subprime mortgage, dimana keuntungan dan pengembalian pokok investasinya sangat ditentukan dari kelancaran kredit perumahan dari nasabah2 bank tersebut.

Saat kredit perumahan menjadi macet sampai pada taraf yang mengkhawatirkan, otomatis institusi2 keuangan yang berinvestasi pada subprime mortgage mengalami kerugian besar. Inilah awal kejatuhan ekonomi Amerika, karena pada dasarnya risiko investasi perbankan ataupun institusi keuangan bersifat sistemik, dalam arti kerugian institusi keuangan akan berdampak pada terpukulnya perekonomian negara. Inilah yang dialami oleh Amerika.

Beberapa institusi keuangan besar seperti Lehmann Bros., Meryll Lynch, dan AIG pun jatuh, dan pemerintah Amerika harus turun tangan menyediakan subsidi. Saham perusahaan dijual kepada investor asing.

Akibat dari jatuhnya institusi keuangan tersebut berdampak pada kinerja saham mereka di bursa saham yang terjun bebas, sehingga dampaknya juga ke indeks bursa saham Amerika (DJIA), karena institusi keuangan memiliki kapitalisasi pasar yang cukup signifikan. Akhirnya investor2 mulai menarik dananya dari bursa, sehingga kejatuhan indeks bursa semakin parah.

Penarikan dana juga dilakukan di bursa2 global, karena umumnya pihak asing juga memiliki banyak dana di bursa asing (termasuk di Indonesia). Inilah mengapa dampak kejatuhan bursa di Amerika juga mengimbas bursa2 di seluruh dunia.

sumber; http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081008230229AAXfRpW